Artikel

07MAR2016

Memperingati 70 Tahun Revolusi Sosial di Sumatera Timur

Medan, 4/3 - Plt Gubsu Tengku Erry Nuradi mengatakan peristiwa pembantaian para sulatan, keluarga sultan dan para petinggi serta masyarakat Melayu pada 70 tahun silam patut terus dikenang agar tidak terulang. “Tragedi 70 tahun menjadi catatan sejarah, agar ke depan kita lebih bersatu,” kata Plt Gubsu saat menghadiri acara Melawan Lupa peringatan 70 tahun revolusi sosial di Sumatera Timur 1946 di halaman mesjid raya Al Mahsun, Jumat (4/3).

Acara yang dihadiri ratusan warga itu dihadiri Pangkostrad Letjend Edy Rahmayadi, Sultan Langkat Tengku Azwar Abdul Djalil Rahmatshah Al Hajj (HT Azwar Azis), Sultan Serdang Tengku Achmad Tala'a, Sultan Asahan Tuanku Kamal Osman Delikhan Alhajj, mewakili Sultan Deli, serta sejumlah Dzuriat Tengku dan Datuk.

Plt Gubsu mengatakan, jika kita telisik lagi revolusi sosial di Sumatera Timur menyimpan banyak duka dan penderitaan. “Terjadi penyiksaan, pembunuhan, penculikan ,dan tindakan amoral lain yang dilakukan segelintir orang yang seolah menjadi pahlawan. Di kawasan pantai timur ini goresan itu masih pedih di hati masyarakat terlebih lagi bagi tokoh melayu,” ujarnya. Salah seorang yang menjadi korban pembantaian adalah Tengku Amir Hamzah yang merupakan pahlawan nasional.

Menurut Erry Nuradi, meskipun sudah berlangsung lama, 70 tahun silam namun sejarah harus tetap dikenang sebagai tindakan kejahatan yang dahsyat. “Banyak yang gugur termasuk sultan, para petinggi dan keluarga serta masyarakat. Bukan hanya melayu saja yang dibantai, namun etnis lain juga menjadi korban,” ujarnya.

Dia menyambut positif kegiatan memperingati tragedi, karena sebagai bangsa yang besar, adalah yang selalu mengingat para pendahulu. “Tidak mungkin kita bisa berdiri sendiri tanpa pendahulu. Kegiatan hari ini dapat menjadikan pelajaran berharga agar masyarakat melayu bersatu dan tidak terpecah. Apalagi jumlahnya sekarang tidak terlalu banyak, tapi kita bersyukur karena banyak yang menjadi pemimpin,” ujarnya. Persatuan menurut Erry menjadi syarat mutlak untuk memenangkan persaingan sehingga etnis Melayu bisa Berjaya di rumah sendiri.

Acara peringatan berlangsung sederhana di mana hadirin duduk lesehan di halaman mesjid Raya Al Mahsun tanpa menggunakan tenda. Sebagian para tamu dan undangan memakai kain sampin putih, busana yang merupakan penanda dukacita atas tragedi pembantaian tersebut. Acara diisi dengan sambutan, aksi teatrikal menceritakan peristiwa kelam.

Azwar Azis mengungkapkan bahwa revolusi sosial memang sebelumnya dipersiapkan dengan matang oleh kelompok komunis. “Ini adalah pengkhianatan terhadap proklamasi. Negara RI ditohok, ditikam dari belakang,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, fakta nya adalah sebelum peristiwa terjadi para sultan sudah bertemu dengan wakil pemerintah Gubernur Sumatera Mohammad Hasan dimana Sultan Langkat waktu itu Sultan Mahmud menyatakan ikut berada di bawah naungan RI. “Dalam pertemuan di Jalan Sukamulia, Mr Moh Hasan mengatakan Undang undang Dasar menjamin keberadaan para sultan. Silahkan sultan dengan masyarakatnya,” ujar Azwar.

Salah seorang tokoh Melayu Tengku M Muhar Omtatok, menjelaskan, peristiwa berdarah yang terjadi pada Maret 1946 itu bukan hanya merupakan sejarah kelam bagi masyarakat Melayu, tetapi juga trauma yang mendalam sehingga banyak orang Melayu yang terpaksa mengubah identitas kesukuannya. Ironisnya, kata Muhar, tidak ada dokumentasi dalam bentuk tulisan atas peristiwa bersejarah tersebut. Cerita pembantaian disampaikan melalui cerita para pendahulu. Diungkap Muhar, peristiwa Revolusi Sosial Sumatera Timur berlangsung dengan penuh kebengisan dan kekejaman. "Beberapa waktu lalu kami mendatangi saksi-saksi mata, mulai dari Tamiang hingga Kota Pinang. Nyatanya seluruh Sumatera Timur terkena dampak pemberangusan, pemerkosaan, pembunuhan, genosida 70 tahun lalu," ujarnya.
Muhar pun berharap pemerintah agar menelusuri sejarah tersebut dan menetapkannya sebagai sejarah yang diakui. "Perlu kita terlusuri latar belakang ini. Perlu pengkajian lagi. Kami tidak bermaksud membuka luka lama. Tidak ada dendam di sini. Kami cuma tidak ingin ada kekerasan baru," katanya.

(Humas Pemprovsu)-(Ernes)